Saturday, July 4, 2015

Ramadhan #17 : Ayah dalam Shaf Terdepan

Berbeda dengan ramadhan tahun lalu dimana aku harus memperlambat langkahku, mengikuti langkah kaki ayah.
“Ayah malu deh, mau ke masjid aja harus dituntun segala.” Katanya setelah kami melewati beberapa pemuda yang sedang nongkrong di ujung gang rumah. “Harusnya mereka yang malu, yah. Masih muda dan sehat tapi gak solat tarawih ke masjid.” Hiburku menimpali.

Alhamduillah aku sudah lancar mengendarai motor. Ayah adalah salah satu motivasiku berani mengendarai motor (lagi). Ramadhan tahun ini aku membonceng ayah menuju masjid yang jaraknya tidak terlalu jauh dari
rumah.

Sesampainya di masjid, ayah dibantu menuju tempat solat oleh tetanggaku. Hijab masjid yang terbuat dari kaca memudahkanku melihat ayah dalam barisan jama’ah laki-laki di depan.

“Koq tadi ayah solatnya di shaf belakang sih, padahal kan tadi datengnya duluan?” tanyaku sesampainya kami di rumah.

“Ayah cuma gak mau ganggu kekhusyuan orang yang solat di samping ayah.”
Ayah yang sudah empat tahun di vonis mengidap gagal ginjal, tahun ini sudah tidak sanggup solat berdiri. Tapi semangatnya untuk tetap berjama’ah di masjid memang juara. Meski harus sebaris dengan anak- anak kecil di shaf belakang, ayah tetap memilih solat teraweh berjama’ah di masjid dengan kondisi solat duduk.

Malam berikutnya, ayah berada di baris kelima dekat jendela. Malam berikutnya lagi di baris ketiga, tetap baris terakhir. Baru pertengahan bulan, tapi sejak hari pertama jama’ah solat tarawih semakin menurun.

Jama’ah perempuan pun sekarang bisa ikut masuk ke ruang solat utama.

Malam ini ayah tidak memintaku
mengantarnya ke masjid.
“Ayah boleh istirahat di rumah aja gak, ya? Simpan tenaga buat jum’atan ke masjid besok,”
“Boleh, Yah.”
“Besok ayah harus di shaf depan.” Katanya menambahkan.

Akupun memutuskan solat tarawih di rumah, menemani ayah. Hari yang di tunggu ayah pun tiba. Kali ini aku tak mengantarnya seorang diri. Dan ayah benar-benar berada
di shaf paling depan. Sendirian.

Ayah benar,
perjalanan terjauh dan terberat adalah perjalanan menuju masid, perjalanan menuju Rabbnya

Semoga Allah menghitung setiap
langkahmu menuju masjid, yah.

Pengirim Tulisan :
Lisdha Nurakida
Dibalik Tiga Jendela

Source: Masgun

No comments:

Post a Comment